22 Oktober 1945 menjadi hari yang terekam dalam sejarah nasional. Momentum pengukuhan resolusi jihad dalam nomenklatur yang ditandatangani oleh Rais Akbar PBNU, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari beserta puluhan kiai seantero Jawa dan Madura. Kejadian ini menjadi penjelas bagi kebingungan masyarakat muslim Indonesia terkait hubungan yang konsisten antara mempertahankan kemerdekaan dengan status hukum Islam. Naskah resolusi jihad –yang juga diiringi dengan fatwa jihad—pada akhirnya memberikan semangat perjuangan terkait jihad nasionalis dengan poin pentingnya bahwa membela tanah air hukumnya fardlu a’in.
Jika berkaca pada sejarah tersebut, resolusi jihad bersumber pada kebutuhan perjuangan, mengingat besarnya kuantitas kader muslim dalam peta kekuatan nasional. Jika ditarik pada masa kini, konteks perjuangan mempertahankan kemerdekaan sudah tidak relevan dibicarakan dalam bingkai negara yang telah mapan secara politik. Indonesia hari ini telah melampaui puluhan tahun heroisme kemerdekaan negara. Maka dari itu, semangat mengisi kemerdekaan tetaplah menjadi poin penting dalam pembicaraan terkait Hari Santri Nasional.
Hari Santri Nasional harusnya bukan hanya soal perayaan tentang momentum dan eksistensi golongan tertentu. Perjuangan berbagai elemen masyarakat yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada perhelatan resolusi jihad juga perlu diapresiasi. Terlebih dalam iklim globalisasi yang telah meninggalkan prinsip kompetisi dan memunculkan jiwa kolaborasi sebagai penggantinya. Seluruh upaya yang dilakukan setiap ormas memang telah dengan jelas berusaha mengisi nikmat perjuangan dengan caranya masing-masing. Jika resolusi jihad dapat diartikan sebagai gerakan umat Islam nasional, maka pantas jika harapan bahwa seluruh lapisan masyarakat muslim Indonesia mampu membuat gerakan bersama dalam menyongsong berbagai agenda strategis, baik dari aspek ekonomi, politik maupun pendidikan.
Selain itu, internal organisasi yang menyuarakan resolusi jihad diperingati sebagai Hari Santri juga butuh berbenah. Esensi perjuangan dan semangat perubahan menjadi komunitas yang lebih bermanfaat, sudah selayaknya masuk dan meresap dalam relung setiap kader. Upaya memperbarui persepsi jihad di setiap era dan masa, menjadi inspirasi bagi jalur-jalur perjuangan yang mungkin saja muncul sebagai opsi mencapai derajat kemakmuran bersama.
Lebih dari itu, renungan bahwa ternyata kisah ini telah lama tidak terjamah oleh sejarah, menjadikan kita (harus) sadar adanya kemungkinan penggiringan opini tertentu untuk maksud yang bahkan tidak terbayangkan. Maka sebagai kader penerus para ulama, kita semua pantas untuk menjaga martabat dan isi perjuangan kembali kepada “khittahnya”. Penguatan berbagai lini masa perlu dikembangkan lebih masif dan terukur. Seluruh program dapat diarahkan pada pengembangan individu dan kelembagaan demi tercapainya kekuatan militansi nasional.
Meski tanggal perayaannya telah berlalu, tapi bukan suatu dosa jika kembali kita ucapkan “Selamat Hari Santri Nasional”. Bukan hanya untuk santri dan ulama, tetapi juga untuk semua pejuang-pejuang kebaikan.
Ilman Ardhy Chalim (Ketua PC IPNU Kota Malang 2021-2023)
Editor: Hikmah Imroatul Afifah
Tulis Komentar