”Melihat
semangatnya Gus Yahya, rasa-rasanya sungkan sekali, jika kami—yang muda-muda
ini—justru tawaquf (stagnan).”
Kalimat tersebut adalah takarir dari
suatu status WhatsApp yang diunggah oleh salah seorang sahabat Ansor
Mesir. Tak persis begitu, memang. Tapi, saya ingat betul, jika substansinya:
semangat Gus Yahya harus diimbangi dengan energi dari kawula muda Nahdlatul
Ulama. Gus Yahya memang tak mungkin mewujudkan semua ide-ide briliannya seorang
diri. Butuh urun pikiran dan tenaga dari yang lainnya.
Tak bisa dipungkiri, terpilihnya Gus
Yahya menjadi ketua umum PBNU memang menciptakan atmosfer yang berbeda.
Beberapa orang mengaku jika, kayak ada semangat-semangatnya, gitu. Narasi
tersebut saya tulis tanpa mengurangi hormat dan bangga pada kepengurusan PBNU
yang sebelumnya, tentu saja. Semoga tidak ada yang memelintirnya menjadi narasi
lain yang bermakna negatif.
Gagasan-gagasan keren Gus Yahya
cukup mudah ditemukan lewat ceramah-ceramah beliau di berbagai acara Nahdlatul
Ulama, atau yang paling enak dibaca, ya, di buku “Menghidupkan Gus Dur”
anggitan Mas Sulak—panggilan akrab AS Laksana. Juga dalam buku yang ditulis
sendiri oleh beliau: PBNU (Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama). Dalam buku
“Menghidupkan Gus Dur”, Gus Yahya menjadi sosok penutur sejarah dan beberapa
kali menyisipkan pandangan pribadinya soal Nahdlatul Ulama, yang terinspirasi
oleh Kiai Abdurrahman Wahid. Lalu belakangan, pandangan visioner tersebut
dikerucutkan dalam tiga kebangkitan, yang dicanangkan PBNU sebagai fokus utama
selama periode ini.
Tiga kebangkitan yang mulai
digaungkan adalah kebangkitan intelektual, kebangkitan kewirausahaan (ekonomi),
dan kebangkitan teknokrasi. Seperti yang sudah saya sebut di atas, ide brilian
ini butuh dukungan banyak pihak. Semua elemen Nahdlatul Ulama, utamanya Badan
Otonom; Lembaga; dan Lajnah, harus turut andil dalam kerja
kolektif-berkelanjutan ini.
IPNU dan IPPNU—badan otonom yang
dianggap sebagai representasi pintu gerbang pengaderan di tubuh Nahdlatul
Ulama—tentu harus sukarela dan bahagia dalam menyumbangkan sesuatu untuk
kebangkitan Nahdlatul Ulama di tiga sektor tersebut. Bahkan sebenarnya, jauh
sebelum itu, IPNU IPPNU sudah memulai langkah-langkah kecil untuk mewujudkan
kebangkitan intelektual. Dalam tulisan kali ini, saya akan fokus pada langkah
kecil yang dimulai oleh Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT).
Namun, sebelum lebih jauh berkisah,
saya ingin memperjelas satu hal—yang acap kali jadi pertanyaan. Ikatan pelajar,
tapi kok, masih ada saja di tingkat perguruan tinggi? Begini, pembaca yang
budiman. Saya tidak tahu persis siapa yang memulai spesialisasi (penyempitan
makna) pada kata pelajar. Selama ini, pelajar selalu diasosiasikan dengan
orang-orang yang belajar di usia sekolah dasar hingga menengah. Padahal, jika
saja mau membaca pendapat para pakar di bidang pendidikan, pelajar adalah
orang-orang yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Jika dirasa membaca teori-teori para
pakar itu menghabiskan waktu, cara instannya adalah cek saja di Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI). Di situ, pelajar juga diartikan sebagai anak didik.
Mari kita sejenak mengingat ajaran agama, yang menganjurkan kita untuk belajar
sepanjang hayat, dari siapa pun sumbernya. Juga dawuh Kiai Mustofa Bisri yang
selalu mengajak kita untuk tidak pernah berhenti belajar. Sekarang, mari kita
tarik ke pemaknaan atas kata pelajar, menurut KBBI dan para pakar. Sudah
nyambung, ya? Konklusinya adalah, sejatinya, kita semua adalah pelajar
sepanjang hayat. Bedanya, di IPNU IPPNU ada batasan usia secara struktural.
Klir, ya.
Kembali ke topik utama. Langkah-langkah
kecil PKPT untuk peningkatan kapasitas intelektual para Nahdliyin—atau calon
Nahdliyin, bahkan—biasanya dilakukan melalui dua gerbang; internal dan
eksternal. Untuk gerbang internal, komisariat yang ada di tiap kampus biasanya
memiliki agenda berupa kajian atau diskusi, yang temanya beragam. Selain itu,
hampir setiap komisariat akan memberikan pelatihan menulis dan hal-hal dasar
seputar jurnalisme. Beberapa komisariat bahkan sudah mampu merilis antologi
tulisan dari para kadernya. Ini membuktikan bahwa kader-kader PKPT well-literate
enough. Rasa-rasanya, saya tak perlu menjelaskan keterkaitan antara
literasi dan intelektualisme.
Kebangkitan intelektual yang coba
digarap dari gerbang eksternal ini diwujudkan melalui pendampingan-pendampingan
pada beberapa sekolah Ma’arif maupun non-Ma’arif. Pendampingan ini beragam
bentuknya. Ada yang berupa pendampingan saat orientasi sekolah, pendampingan
dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler, atau pendampingan dalam hal
sosial-keagamaan. Sepanjang yang saya tahu pula, IPNU bahkan telah merancang
program back up school. Kalau kemudian muncul pertanyaan, kok, tak
kunjung terbentuk komisariat, padahal katanya sudah melakukan pendampingan;
sebentar. Urusan pembentukan komisariat ini tidak semudah yang dikira
orang-orang. Birokrasi di sekolah-sekolah itu cukup rumit, tak terkecuali di
sekolah yang berada dalam naungan LP Ma’arif. Hal-hal besar (pembentukan
komisariat) memang selalu memakan waktu yang tidak sebentar.
Selain berupaya untuk back up school, tak jarang pula, PKPT yang mengadakan pengabdian masyarakat dengan terjun ke suatu desa. Kegiatan-kegiatan semacam ini, sayangnya, jarang terbidik oleh lensa kamera atau reporter media-media online milik Nahdlatul Ulama. Atau sekali-dua, yang terjadi justru sebaliknya. Nyata terpotret oleh mata reporter, namun, dilupakan begitu saja, dengan dalih “anak kampus tahu apa, sih, soal problematika akar rumput.”
Langkah-langkah yang dilakukan PKPT
sejak lama itu—dan saya tak mungkin menceritakannya dengan amat rinci di sini, semoga
tidak bermuara pada kata puas. Namun, justru menjadikan komisariat perguruan
tinggi makin semangat berinovasi, untuk membangkitkan intelektualisme para
Nahdliyin muda. Soal tantangan, jangan lagi ditanya. Para kader komisariat
perguruan tinggi harus pandai-pandai menganalisa dan memetakan tantangan, serta
opsi terbaik untuk menyelesaikannya.
Jika sejak semula kader komisariat
perguruan tinggi sudah mendaku sebagai kaum terpelajar, maka konsekuensi
logisnya adalah, adanya kemauan untuk menerima kritik dan saran, juga melakukan
autokritik terhadap internal organisasi. Tapi, hal lain yang juga tak kalah
penting, yakni: mengetahui dengan betul, mana kritik yang dilontarkan
berdasarkan riset dan refleksi mendalam; dan, mana kritik yang dilontarkan
dengan asal-asalan belaka. Sebab, jika tidak begitu, komisariat yang masa
pengabdiannya hanya setahun itu, akan kehabisan energi—hanya untuk menanggapi
persoalan-persoalan yang jauh sekali dari substansi pengabdian.
Salah satu tanda seseorang dengan
intelektual yang matang adalah kemampuannya untuk fokus pada tujuan dan bidang
garap awal yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, bidang garap komisariat
perguruan tinggi, sebagaimana yang disepakati bersama adalah, pelajar (termasuk
di dalamnya adalah mahasiswa) dan santri. Cukup fokus pada dua segmen tersebut,
dan segera eksekusi konsep-konsep cemerlangnya. Adapun isu besar soal IPNU
IPPNU yang melenceng dari khitahnya, jawab saja dengan kelangsungan
program-program unggulan yang selama ini sudah dicanangkan. Lagi pula, kita
sudah bersetia (cek saja sejarah IPNU dan IPPNU)—nggak ke mana-mana,
kok, disuruh kembali pada khitah. Sekian, dan ruang diskusi amat terbuka.
Salam Hormat,
Mbak-mbak NU biasa yang seperempat perjalinan tarbiahnya ditempuh melalui proses berorganisasi di IPPNU.
Editor : Febi Akbar Rizki