Kerja Bakti untuk Kebangkitan Intelektual NahdliyinPenulis : Hikmah Imroatul Afifah

$rows[judul] Keterangan Gambar : National Islamic Festifal PKPT IPNU IPPNU Se-Malang Raya 2019


”Melihat semangatnya Gus Yahya, rasa-rasanya sungkan sekali, jika kami—yang muda-muda ini—justru tawaquf (stagnan).”

Kalimat tersebut adalah takarir dari suatu status WhatsApp yang diunggah oleh salah seorang sahabat Ansor Mesir. Tak persis begitu, memang. Tapi, saya ingat betul, jika substansinya: semangat Gus Yahya harus diimbangi dengan energi dari kawula muda Nahdlatul Ulama. Gus Yahya memang tak mungkin mewujudkan semua ide-ide briliannya seorang diri. Butuh urun pikiran dan tenaga dari yang lainnya.

Tak bisa dipungkiri, terpilihnya Gus Yahya menjadi ketua umum PBNU memang menciptakan atmosfer yang berbeda. Beberapa orang mengaku jika, kayak ada semangat-semangatnya, gitu. Narasi tersebut saya tulis tanpa mengurangi hormat dan bangga pada kepengurusan PBNU yang sebelumnya, tentu saja. Semoga tidak ada yang memelintirnya menjadi narasi lain yang bermakna negatif.

Gagasan-gagasan keren Gus Yahya cukup mudah ditemukan lewat ceramah-ceramah beliau di berbagai acara Nahdlatul Ulama, atau yang paling enak dibaca, ya, di buku “Menghidupkan Gus Dur” anggitan Mas Sulak—panggilan akrab AS Laksana. Juga dalam buku yang ditulis sendiri oleh beliau: PBNU (Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama). Dalam buku “Menghidupkan Gus Dur”, Gus Yahya menjadi sosok penutur sejarah dan beberapa kali menyisipkan pandangan pribadinya soal Nahdlatul Ulama, yang terinspirasi oleh Kiai Abdurrahman Wahid. Lalu belakangan, pandangan visioner tersebut dikerucutkan dalam tiga kebangkitan, yang dicanangkan PBNU sebagai fokus utama selama periode ini.

Tiga kebangkitan yang mulai digaungkan adalah kebangkitan intelektual, kebangkitan kewirausahaan (ekonomi), dan kebangkitan teknokrasi. Seperti yang sudah saya sebut di atas, ide brilian ini butuh dukungan banyak pihak. Semua elemen Nahdlatul Ulama, utamanya Badan Otonom; Lembaga; dan Lajnah, harus turut andil dalam kerja kolektif-berkelanjutan ini.

IPNU dan IPPNU—badan otonom yang dianggap sebagai representasi pintu gerbang pengaderan di tubuh Nahdlatul Ulama—tentu harus sukarela dan bahagia dalam menyumbangkan sesuatu untuk kebangkitan Nahdlatul Ulama di tiga sektor tersebut. Bahkan sebenarnya, jauh sebelum itu, IPNU IPPNU sudah memulai langkah-langkah kecil untuk mewujudkan kebangkitan intelektual. Dalam tulisan kali ini, saya akan fokus pada langkah kecil yang dimulai oleh Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi (PKPT).

Namun, sebelum lebih jauh berkisah, saya ingin memperjelas satu hal—yang acap kali jadi pertanyaan. Ikatan pelajar, tapi kok, masih ada saja di tingkat perguruan tinggi? Begini, pembaca yang budiman. Saya tidak tahu persis siapa yang memulai spesialisasi (penyempitan makna) pada kata pelajar. Selama ini, pelajar selalu diasosiasikan dengan orang-orang yang belajar di usia sekolah dasar hingga menengah. Padahal, jika saja mau membaca pendapat para pakar di bidang pendidikan, pelajar adalah orang-orang yang terlibat dalam proses pembelajaran.

Jika dirasa membaca teori-teori para pakar itu menghabiskan waktu, cara instannya adalah cek saja di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di situ, pelajar juga diartikan sebagai anak didik. Mari kita sejenak mengingat ajaran agama, yang menganjurkan kita untuk belajar sepanjang hayat, dari siapa pun sumbernya. Juga dawuh Kiai Mustofa Bisri yang selalu mengajak kita untuk tidak pernah berhenti belajar. Sekarang, mari kita tarik ke pemaknaan atas kata pelajar, menurut KBBI dan para pakar. Sudah nyambung, ya? Konklusinya adalah, sejatinya, kita semua adalah pelajar sepanjang hayat. Bedanya, di IPNU IPPNU ada batasan usia secara struktural. Klir, ya.

Kembali ke topik utama. Langkah-langkah kecil PKPT untuk peningkatan kapasitas intelektual para Nahdliyin—atau calon Nahdliyin, bahkan—biasanya dilakukan melalui dua gerbang; internal dan eksternal. Untuk gerbang internal, komisariat yang ada di tiap kampus biasanya memiliki agenda berupa kajian atau diskusi, yang temanya beragam. Selain itu, hampir setiap komisariat akan memberikan pelatihan menulis dan hal-hal dasar seputar jurnalisme. Beberapa komisariat bahkan sudah mampu merilis antologi tulisan dari para kadernya. Ini membuktikan bahwa kader-kader PKPT well-literate enough. Rasa-rasanya, saya tak perlu menjelaskan keterkaitan antara literasi dan intelektualisme.

Kebangkitan intelektual yang coba digarap dari gerbang eksternal ini diwujudkan melalui pendampingan-pendampingan pada beberapa sekolah Ma’arif maupun non-Ma’arif. Pendampingan ini beragam bentuknya. Ada yang berupa pendampingan saat orientasi sekolah, pendampingan dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler, atau pendampingan dalam hal sosial-keagamaan. Sepanjang yang saya tahu pula, IPNU bahkan telah merancang program back up school. Kalau kemudian muncul pertanyaan, kok, tak kunjung terbentuk komisariat, padahal katanya sudah melakukan pendampingan; sebentar. Urusan pembentukan komisariat ini tidak semudah yang dikira orang-orang. Birokrasi di sekolah-sekolah itu cukup rumit, tak terkecuali di sekolah yang berada dalam naungan LP Ma’arif. Hal-hal besar (pembentukan komisariat) memang selalu memakan waktu yang tidak sebentar.

Selain berupaya untuk back up school, tak jarang pula, PKPT yang mengadakan pengabdian masyarakat dengan terjun ke suatu desa. Kegiatan-kegiatan semacam ini, sayangnya, jarang terbidik oleh lensa kamera atau reporter media-media online milik Nahdlatul Ulama. Atau sekali-dua, yang terjadi justru sebaliknya. Nyata terpotret oleh mata reporter, namun, dilupakan begitu saja, dengan dalih “anak kampus tahu apa, sih, soal problematika akar rumput.”

Langkah-langkah yang dilakukan PKPT sejak lama itu—dan saya tak mungkin menceritakannya dengan amat rinci di sini, semoga tidak bermuara pada kata puas. Namun, justru menjadikan komisariat perguruan tinggi makin semangat berinovasi, untuk membangkitkan intelektualisme para Nahdliyin muda. Soal tantangan, jangan lagi ditanya. Para kader komisariat perguruan tinggi harus pandai-pandai menganalisa dan memetakan tantangan, serta opsi terbaik untuk menyelesaikannya.

Jika sejak semula kader komisariat perguruan tinggi sudah mendaku sebagai kaum terpelajar, maka konsekuensi logisnya adalah, adanya kemauan untuk menerima kritik dan saran, juga melakukan autokritik terhadap internal organisasi. Tapi, hal lain yang juga tak kalah penting, yakni: mengetahui dengan betul, mana kritik yang dilontarkan berdasarkan riset dan refleksi mendalam; dan, mana kritik yang dilontarkan dengan asal-asalan belaka. Sebab, jika tidak begitu, komisariat yang masa pengabdiannya hanya setahun itu, akan kehabisan energi—hanya untuk menanggapi persoalan-persoalan yang jauh sekali dari substansi pengabdian.

Salah satu tanda seseorang dengan intelektual yang matang adalah kemampuannya untuk fokus pada tujuan dan bidang garap awal yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, bidang garap komisariat perguruan tinggi, sebagaimana yang disepakati bersama adalah, pelajar (termasuk di dalamnya adalah mahasiswa) dan santri. Cukup fokus pada dua segmen tersebut, dan segera eksekusi konsep-konsep cemerlangnya. Adapun isu besar soal IPNU IPPNU yang melenceng dari khitahnya, jawab saja dengan kelangsungan program-program unggulan yang selama ini sudah dicanangkan. Lagi pula, kita sudah bersetia (cek saja sejarah IPNU dan IPPNU)—nggak ke mana-mana, kok, disuruh kembali pada khitah. Sekian, dan ruang diskusi amat terbuka.

Salam Hormat,

Mbak-mbak NU biasa yang seperempat perjalinan tarbiahnya ditempuh melalui proses berorganisasi di IPPNU.

Editor : Febi Akbar Rizki

Ada 1 Komentar untuk Berita Ini Tulis Komentar

  1. Nggak kemana mana kok ya, yang gak mau balik juga siapa ya hehehe

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)