Kartini adalah perempuan yang paling berdengung namanya di
bulan April. Baik untuk sekadar selebrasi heroisme atau upaya untuk mengingat
kembali keberadaannya yang tidak terelakkan saat bicara tentang semangat
perlawanan. Kartini adalah sosok manusia yang lahir melampaui zamannya.
Pemikirannya jauh melampaui angan kebanyakan perempuan yang lahir pada masa
itu, sekalipun Eropa—negeri yang dianggap lebih beradab karena superioritasnya
atas bangsa Asia.
Sebagai anak yang lahir di benteng adat yang terisolasi dan
dibatasi, tumbuh menjadi perempuan yang berpikir logis dan kritis tentu tidak mudah.
Memiliki teman yang mampu menampung pikiran liarnya pun tampak mustahil. Kartini sendiri. Dia
sunyi dengan segala kegelisahannya. Pada tahap ini, orang cenderung lebih
sensitif terhadap sekitar. Karenanya, tulisannya sangat bertenaga.
Aroma ketidakadilan yang menempatkan masyarakat terjajah,
terutama perempuan sebagai setengah manusia—meminjam istilah Dr. Nur Rofiah,
menumbuhkan cara pandang Kartini berbeda dengan yang lain.
"Percayalah, bukan orang-orang bodoh saja yang bersikap
demikian tercela terhadap orang Jawa. Beberapa kali aku bertemu dengan
orang-orang yang sama sekali tidak bodoh, malah bangsawan-bangsawan pikiran,
namun begitu sombong dan manjanya mereka itu sampai-sampai tiada tertahankan.
Terluka benar hatiku, dan orang terlalu sering membuat kami merasa, bahwa orang
Jawa sebenarnya bukan manusia." Dst.
(Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 23 Agustus 1900)
Umumnya,
orang pada masa itu melihatnya
sebagai hal yang biasa terjadi. Bahkan perempuan sendiri tidak merasa dirinya
menjadi obyek. Semua seperti hal yang wajar, sewajar kerja keras yang mereka
lakukan setiap hari di tengah himpitan kesulitan lain akibat penjajahan seperti
kelaparan, banyaknya penyakit, maupun keamanan yang tidak terjamin sebagai
seorang perempuan. Dus, emansipasi adalah barang mewah yang tidak terjangkau
oleh pikiran liar sekalipun.
Kartini membuatnya menjadi lebih mudah dengan memberi para
perempuan itu pengetahuan dasar melalui belajar membaca dan menulis.
Selebihnya, biarkan alam menuntun mereka. Apakah mereka akan tergerak setelah
membaca lebih banyak, dan menggelombang menjadi revolusi diri, ataukah mereka
berhenti dan kembali pada kenyatan diri yang tak bisa dilawan? Domestifikasi
yang akut?
Kartini tak merasa punya cukup waktu dan energi untuk membentuk gelombang menjadi
lebih dahsyat dalam bentuk ide sistematis dan pergerakan yang terorganisir.
Akan lain ceritanya jika dia punya semangat dan kesempatan bergerak lebih
leluasa. Tetapi, dia perempuan yang lahir dari situasi di mana zaman baru
bermula. Pemikirannya yang penuh gugatan seolah membentur tembok besar yang
membuatnya harus berhenti.
"Ayah, ayah, mengapakah dalam satu hal ini, kau tak
izinkan? Cinta adalah maha kuasa, berabad-abad diajarkan dan dibuktikan. Cinta
kami satu sama lain adalah agung. Duh cinta, lakukanlah kerja amal itu:
hapuskan perbedaan faham itu dari watak kami berdua, persatukanlah kami!
"..
Agaknya ide itu terhenti atau akan terus bergolak, banyak
disumbang oleh dialektika berbagai wacana. Sebagaimana dicatat Pramoedya Ananta
Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, gemuruh perlawanan-perlawanan perempuan
kelahiran Rembang, (21 April 1879-17 September 1904) ini, salah satunya
didukung oleh bacaannya tentang realitas kolonialisme dan feodalisme dari buku
Max Havelaar karya Multatuli, nama samaran Edward Douwes Dekker dengan
tokohnya, Saijah dan Adinda.
Bukan hanya kepada bangsa berkulit putih kegeraman itu
ditimpakan. Kartini juga sangat geram terhadap kaum feodal pribumi yang
menghina bangsanya sendiri. Menafikan kemanusiaan dengan memandang mereka tak
lebih sebagai hamba sahaya, sangat melukai hati Kartini.
Atas perjuangan Kartini dalam menggelorakan perlawanannya, akhirnya memunculkan
kesadaran nasional untuk pertama kalinya. Pram menyebutnya sebagai "pemula" dari sejarah modern
Indonesia. Titel yang sama dia berikan kepada RM. Tirtoadisoerjo, wartawan
Medan Prijaji.
Keduanya penulis.
Keduanya keluarga bupati.
Keduanya lahir di penghujung abad 19. Menuju abad baru, 20.
Tirto lahir tahun 1880 dan wafat tahun 1918 di usia teramat
muda, 38-38 tahun. Kartini wafat di usia 25 tahun. Teramat muda untuk
mengakhiri perjuangan. Dan terutama, keduanya diliputi pemikiran tentang
ketidakadilan yang menyelimuti bangsanya.
Keduanya beririsan dengan Islam sebagai nilai dan gerakan.
Kartini berjuang dan mencari landasan nilai pada ajaran gurunya, K.H. Sholeh
Darat. Namun Kartini juga terinspirasi oleh Pandita Ramabai, perempuan Hindu
yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima para perempuan Hindu
di India. Pram menyebutnya sebagai daya sinkretik Kartini.
Tirtoadisoerjo membuat gerakan organisasi Sarekat Dagang
Islam untuk mengorganisir pedagang muslim Solo dan terbukti efisien dalam
mengumpulkan massa, hingga kelak dibubarkan.
Kendati Kartini tak punya cara mengorganisir lewat gerakan
massa, tetapi tulisannya mampu menggerakkan kesadaran bersama. Bagai pijar
lampu di kegelapan abad. Dia tak sekadar tokoh yang dimitoskan setiap tanggal
21 April, tapi sejujurnya telah menjadi bagian dari diri kita saat kita punya
kesadaran yang sama. Kesadaran kemanusiaan.
Selamat hari Kartini!
Editor : Hikmah Imroatul Afifah
Tulis Komentar