Kaderisasi dan Ihwal yang TerlupakanPenulis : Hikmah Imroatul Afifah


Kaderisasi adalah roh organisasi. Begitu yang acap kali kita dengar dari berbagai pihak. Rasa-rasanya tidak berlebihan jika pernyataan tersebut dilontarkan di berbagai forum. Pasalnya, kaderisasi sendiri memiliki posisi yang strategis dan vital. Peran kaderisasi juga tidak dapat kita abaikan begitu saja. Kaderisasi setidak-tidaknya memiliki tiga peran, yakni sebagai tonggak pewarisan nilai, penjamin keberlangsungan organisasi, dan sebagai sarana belajar bagi para pelaku organisasi.

Dalam keberlangsungannya, kaderisasi bisa dijalankan melalui dua bentuk: pasif daan aktif. Jika dikaitkan dengan kaderisasi di lingkup IPNU IPPNU, kaderisasi pasif ini menjelma dalam wujud pelatihan-pelatihan formal, dengan penekanan learning to know. Sedangkan kaderisasi aktif—dengan penekanan learning to do and learning to be—diterjemahkan dalam sebuah proses pengaderan yang sifatnya berkelanjutan. Kita tentu sama-sama tahu bahwa kaderisasi pasif—dalam hal ini adalah pelatihan-pelatihan formal—memiliki pakem tersendiri. Dan sepertinya, tidak ada alasan bagi kita untuk denial bahwa pakem tersebut sudah membicarakan seluruh aspek-aspek kaderisasi. Jadi, mari kita berdialog soal kaderisasi aktif.

Perkara kaderisasi, saya meyakini satu hal, dan menanamkan kuat-kuat pada diri saya sendiri. Kaderisasi adalah sustainable work. Kaderisasi adalah kerja berkelanjutan, yang hasilnya tentu tidak bisa didapatkan secara instan. Sebagai konsekuensinya, kita sering kali dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bisa dibilang cukup rumit. Semisal saja, ada salah satu kader yang terlihat berjarak dengan agenda-agenda organisasi. Alih-alih mendekat dan menanyai dengan baik, pengader justru sering terjebak dalam fast labeling. Label “tidak aktif” yang terlalu buru-buru diberikan, ternyata berujung pada putusnya kader dengan semua simpul organisasi. Pelik sekali!

Kisah sekaligus contoh di atas justru berbanding terbalik dengan kejadian yang akan saya tuliskan berikut. Alkisah, seorang kader di sebuah organisasi berpamitan untuk “cuti” selama beberapa pekan. Dia menjelaskan dengan detil bahwa ada banyak perkara yang sama-sama protes dan menuntut untuk diselesaikan dengan segera. Dia merasa burn out. Maka dia memutuskan untuk mengambil jeda di organisasi, untuk menuntaskan skala prioritas yang dibuat. Seseorang yang dipamiti ini mengizinkannya untuk mengambil cuti. Bahagianya bukan kepalang. Dia sangat berterima kasih sebab merasa dimengerti atas kondisinya. Lebih cepat dari durasi izin cuti, dia kembali memutuskan untuk aktif. Yang membuat kagum juga bahagia, dia kembali dengan membawa semangat mengabdi yang lebih membara.

Dua kisah tersebut harusnya menjadi pengingat bagi kita. Ada hal-hal dalam kaderisasi yang sering terlupakan selama ini. Untuk membentuk kader yang ideal–sesuai standar masing-masing—ada aspek-aspek kaderisasi yang berkesinambungan dan semestinya dipenuhi, tanpa meninggalkan bagian rumpang. Kelima aspek kaderisasi–fisik, spiritual, mental, intelektual, dan manajerial—berhak mendapat perhatian yang sama. Namun sayangnya, aspek mental dan segala printhilannya adalah ihwal yang sering terlupakan, dan apa yang saya sebut sebagai bagian rumpang.

Aspek mental dalam kaderisasi bisa meliputi moral dan etika, juga sebenar-sebenar kondisi mental objek kaderisasi. Selain menurunkan etika berorganisasi, wujud lain terpenuhinya aspek mental adalah berorganisasi dengan minim tekanan. Setiap orang memang bertanggung jawab secara pribadi untuk menjaga kesehatan mentalnya. Tetapi sebagai pengader, kita punya kewajiban untuk menciptakan ruang tumbuh yang nyaman dan memberikan dukungan yang signifikan.

Ruang tumbuh yang nyaman bisa didapatkan dari aktivitas mendengarkan dan memahami. Jika diamati, kondisi fast labeling itu diawali dengan hilangnya aktivitas mendengarkan. Dampak yang timbul dari hilangnya aktivitas pertama dan utama tersebut adalah minim atau bahkan hilangnya pemahaman. Ketika dua hal itu hilang, maka rentetan selanjutnya yang terjadi adalah pelabelan buruk dari pengader dan kader merasa insecure serta tidak nyaman. Sedang ketidaknyamanan kader adalah awal dari terganggunya stabilitas organisasi.

Kemudian menyoal dukungan yang signifikan, kunci penting yang harus dipegang adalah apresiasi. Dalam suatu kesempatan, Rekan Ilman–ketua PC IPNU Kota Malang—menyebutkan bahwa setiap pekerjaan layak diapresiasi. Saya mengamini sekaligus mengimani pernyataan tersebut. Sayangnya, selain terjebak dalam fast labeling, kita juga sering kali tergelincir dalam lembah habis-habisan mengevaluasi tapi nihil apresiasi. Tuntutan ini-itu terus diberikan, apresiasi hampir tidak pernah diberikan. Padahal apresiasi ini erat kaitannya dengan self-esteem dan motivasi dalam berorganisasi.

Rosenberg (Orth & Robins, 2014) menjelaskan bahwa self-esteem ini berkaitan dengan penilaian individu atas dirinya, yang mengacu pada rasa harga diri dan kepercayaan diri atas tingkah laku atau aktivitas tertentu. Kemudian Coopersmith dalam sebuah tulisannya di tahun 1967, mengungkapkan bahwa salah satu hal yang berdampak pada self-esteem adalah lingkungan. Apabila kita tarik dalam ranah organisasi dan lingkaran kaderisasi, maka self-esteem kader dipengaruhi oleh dukungan dari pengader dan sistem organisasi.

Selanjutnya, benang merah dari rentetan apresiasi dan self-esteem adalah munculnya motivasi berorganisasi. Perihal kaitan self-esteem dan motivasi ini pernah dijelaskan oleh Guindon (2009), bahwa self-esteem memiliki pengaruh terhadap motivasi, perilaku, dan kepuasan terhadap hidup yang dijalani. Berangkat dari kajian-kajian tersebut, maka sudah semestinya budaya apresiasi mulai dilanggengkan. Agar self-esteem kader terbentuk. Supaya motivasi berorganisasi tidak bertempat di ujung tanduk.

Lalu sebelum melanjutkan langkah-langkah kaderisasi, mari kita merenung sejenak. Apakah selama ini pengaderan kita masih sebatas menyentuh hal-hal di permukaan? Sudahkah kita menciptakan ruang bertumbuh yang nyaman? Jika sudah, tentu kita patut mengucap hamdalah. Jika belum, tak apa. Masih ada waktu untuk berbenah. Mari mengupayakan kaderisasi secara maksimal, tanpa menafikan aspek kesehatan mental. Pun berjanji pada diri masing-masing bahwa setiap kinerja, setiap progres, pastilah layak diapresiasi. Small progress is still a progress. No matter how small and no matter how slow.

 


Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)