Kaderisasi adalah roh organisasi.
Begitu yang acap kali kita dengar dari berbagai pihak. Rasa-rasanya tidak
berlebihan jika pernyataan tersebut dilontarkan di berbagai forum. Pasalnya,
kaderisasi sendiri memiliki posisi yang strategis dan vital. Peran kaderisasi
juga tidak dapat kita abaikan begitu saja. Kaderisasi setidak-tidaknya memiliki
tiga peran, yakni sebagai tonggak pewarisan nilai, penjamin keberlangsungan
organisasi, dan sebagai sarana belajar bagi para pelaku organisasi.
Dalam keberlangsungannya, kaderisasi
bisa dijalankan melalui dua bentuk: pasif daan aktif. Jika dikaitkan dengan
kaderisasi di lingkup IPNU IPPNU, kaderisasi pasif ini menjelma dalam wujud
pelatihan-pelatihan formal, dengan penekanan learning to know. Sedangkan
kaderisasi aktif—dengan penekanan learning to do and learning to be—diterjemahkan
dalam sebuah proses pengaderan yang sifatnya berkelanjutan. Kita tentu
sama-sama tahu bahwa kaderisasi pasif—dalam hal ini adalah pelatihan-pelatihan
formal—memiliki pakem tersendiri. Dan sepertinya, tidak ada alasan bagi kita
untuk denial bahwa pakem tersebut sudah membicarakan seluruh aspek-aspek
kaderisasi. Jadi, mari kita berdialog soal kaderisasi aktif.
Perkara kaderisasi, saya meyakini
satu hal, dan menanamkan kuat-kuat pada diri saya sendiri. Kaderisasi adalah sustainable
work. Kaderisasi adalah kerja berkelanjutan, yang hasilnya tentu tidak bisa
didapatkan secara instan. Sebagai konsekuensinya, kita sering kali dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang bisa dibilang cukup rumit. Semisal saja, ada
salah satu kader yang terlihat berjarak dengan agenda-agenda organisasi.
Alih-alih mendekat dan menanyai dengan baik, pengader justru sering terjebak
dalam fast labeling. Label “tidak aktif” yang terlalu buru-buru
diberikan, ternyata berujung pada putusnya kader dengan semua simpul
organisasi. Pelik sekali!
Kisah sekaligus contoh di atas
justru berbanding terbalik dengan kejadian yang akan saya tuliskan berikut.
Alkisah, seorang kader di sebuah organisasi berpamitan untuk “cuti” selama
beberapa pekan. Dia menjelaskan dengan detil bahwa ada banyak perkara yang
sama-sama protes dan menuntut untuk diselesaikan dengan segera. Dia merasa burn
out. Maka dia memutuskan untuk mengambil jeda di organisasi, untuk menuntaskan
skala prioritas yang dibuat. Seseorang yang dipamiti ini mengizinkannya untuk
mengambil cuti. Bahagianya bukan kepalang. Dia sangat berterima kasih sebab
merasa dimengerti atas kondisinya. Lebih cepat dari durasi izin cuti, dia
kembali memutuskan untuk aktif. Yang membuat kagum juga bahagia, dia kembali
dengan membawa semangat mengabdi yang lebih membara.
Dua kisah tersebut harusnya menjadi
pengingat bagi kita. Ada hal-hal dalam kaderisasi yang sering terlupakan selama
ini. Untuk membentuk kader yang ideal–sesuai standar masing-masing—ada
aspek-aspek kaderisasi yang berkesinambungan dan semestinya dipenuhi, tanpa
meninggalkan bagian rumpang. Kelima aspek kaderisasi–fisik, spiritual, mental,
intelektual, dan manajerial—berhak mendapat perhatian yang sama. Namun
sayangnya, aspek mental dan segala printhilannya adalah ihwal yang
sering terlupakan, dan apa yang saya sebut sebagai bagian rumpang.
Aspek mental dalam kaderisasi bisa
meliputi moral dan etika, juga sebenar-sebenar kondisi mental objek kaderisasi.
Selain menurunkan etika berorganisasi, wujud lain terpenuhinya aspek mental
adalah berorganisasi dengan minim tekanan. Setiap orang memang bertanggung
jawab secara pribadi untuk menjaga kesehatan mentalnya. Tetapi sebagai pengader,
kita punya kewajiban untuk menciptakan ruang tumbuh yang nyaman dan memberikan
dukungan yang signifikan.
Ruang tumbuh yang nyaman bisa
didapatkan dari aktivitas mendengarkan dan memahami. Jika diamati, kondisi fast
labeling itu diawali dengan hilangnya aktivitas mendengarkan. Dampak yang
timbul dari hilangnya aktivitas pertama dan utama tersebut adalah minim atau
bahkan hilangnya pemahaman. Ketika dua hal itu hilang, maka rentetan
selanjutnya yang terjadi adalah pelabelan buruk dari pengader dan kader merasa insecure
serta tidak nyaman. Sedang ketidaknyamanan kader adalah awal dari
terganggunya stabilitas organisasi.
Kemudian menyoal dukungan yang
signifikan, kunci penting yang harus dipegang adalah apresiasi. Dalam suatu
kesempatan, Rekan Ilman–ketua PC IPNU Kota Malang—menyebutkan bahwa setiap
pekerjaan layak diapresiasi. Saya mengamini sekaligus mengimani pernyataan
tersebut. Sayangnya, selain terjebak dalam fast labeling, kita juga
sering kali tergelincir dalam lembah habis-habisan mengevaluasi tapi nihil
apresiasi. Tuntutan ini-itu terus diberikan, apresiasi hampir tidak pernah
diberikan. Padahal apresiasi ini erat kaitannya dengan self-esteem dan
motivasi dalam berorganisasi.
Rosenberg
(Orth & Robins, 2014) menjelaskan bahwa self-esteem ini berkaitan
dengan penilaian individu atas dirinya, yang mengacu pada rasa harga diri dan
kepercayaan diri atas tingkah laku atau aktivitas tertentu. Kemudian
Coopersmith dalam sebuah tulisannya di tahun 1967, mengungkapkan bahwa salah
satu hal yang berdampak pada self-esteem adalah lingkungan. Apabila kita
tarik dalam ranah organisasi dan lingkaran kaderisasi, maka self-esteem kader
dipengaruhi oleh dukungan dari pengader dan sistem organisasi.
Selanjutnya,
benang merah dari rentetan apresiasi dan self-esteem adalah munculnya
motivasi berorganisasi. Perihal kaitan self-esteem dan motivasi ini
pernah dijelaskan oleh Guindon (2009), bahwa self-esteem memiliki
pengaruh terhadap motivasi, perilaku, dan kepuasan terhadap hidup yang
dijalani. Berangkat dari kajian-kajian tersebut, maka sudah semestinya budaya
apresiasi mulai dilanggengkan. Agar self-esteem kader terbentuk. Supaya
motivasi berorganisasi tidak bertempat di ujung tanduk.
Lalu
sebelum melanjutkan langkah-langkah kaderisasi, mari kita merenung sejenak.
Apakah selama ini pengaderan kita masih sebatas menyentuh hal-hal di permukaan?
Sudahkah kita menciptakan ruang bertumbuh yang nyaman? Jika sudah, tentu kita
patut mengucap hamdalah. Jika belum, tak apa. Masih ada waktu untuk berbenah.
Mari mengupayakan kaderisasi secara maksimal, tanpa menafikan aspek kesehatan
mental. Pun berjanji pada diri masing-masing bahwa setiap kinerja, setiap
progres, pastilah layak diapresiasi. Small progress is still a progress. No
matter how small and no matter how slow.
Tulis Komentar