"Apa yang pertama kali membuat rekan-rekan tertarik dengan IPNU?"
Pertanyaan tersebut seolah familier di telinga kita. Berkali-kali ditanyakan, beragam pula jawaban yang muncul. Boleh jadi, calon anggota tertarik mengikuti IPNU karena suka logonya. Boleh jadi, karena kesengsem dengan alunan musik dan kedalaman lirik marsnya. Namun, yang kerap terjadi, ketertarikan yang muncul dari calon anggota adalah karena tindak tandhuk pengurusnya: penampil utama citra diri organisasi.
Menjadi pengurus
IPNU–dalam konteks sebagai pengader–sering penulis ibaratkan layaknya pipa yang
bisa jadi memang tidak bagus bagus amat, atau juga dari bambu yang pecah-pecah sedikit, atau pun dari bahan rapuh
lainnya. Hanya saja dalam kapasitas yang bagaimanapun, sambil terus memperbaiki
diri, ia tetap dimandati mengalirkan air. Mengalirkan nilai yang didapatkan
melalui kesinambungan dengan sumber nilai kepada anggota-anggotanya. Hemat
penulis, inilah poin utama etos kaderisasi.
Selanjutnya, sama sama kita tahu, jika berbicara tentang transfer nilai, maka itu lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Dan kita tentu sudah akrab dengan makalah yang maknanya: bahasa tindakan lebih utama dari bahasa yang diucapkan. Artinya, keteladanan menjadi misi yang diemban terus menerus oleh pengurus (pengkader secara umum), dan itu berlaku di semua level pimpinan. Normalnya, semakin tinggi strukturalnya, maka semakin lebar pengaruh dan konsekuensinya.
Keteladanan ini benar luas sekali. Tidak bisa secara detail digambarkan dalam tulisan singkat ini. Mari kita sebut beberapa poin saja.
Belajar, berjuang,
bertakwa adalah trilogi IPNU. Dalam diskursus singkat ini, mari kita ambil dua kata yang depan:
belajar dan berjuang. Dua kata ini bisa secara sederhana diambil makna bahwa, setiap kita, dalam ber-ipnu,
perlu proses belajar sebagai ikhtiar
pengembangan diri. Selanjutnya, perlu berjuang dalam belajar, yang memuat paling tidak
dua hal: Satu, istikamah; yaitu
terus menerus belajar. Dua, mengajar; yaitu mentransfer semangat belajar ke kader.
Menjadi pengader harus melakukan dua-duanya. Istikamah belajar saja belum bisa mendatangkan kemanfaatan kolektif. Mengajar saja, atau menyuruh anggota untuk giat belajar tanpa punya semangat belajar sendiri, ini namanya penipuan. Bahasa santun lainnya: omong kosong. Sehingga keduanya harus dikombinasikan di masing-masing personal pengurus dan disempurnakan dalam gerak kolektif kelembagaan. Kombinasi ini akan mendatangkan proses kaderisasi yang powerful.
Organisasi bukan sekumpulan pengangguran. Ia wadah yang mempertemukan pribadi-pribadi unik. Setiap pengurus mempunyai karakter khas yang mencakup banyak hal: bisa pemikiran, pendekatan, retorika, daya ngemong, dan seluk beluknya, bahkan dalam hal kesibukan. Tiap-tiap pengurus punya keunikan dalam menyibukkan diri. Oleh karenanya, ini adalah tantangan ketika berorganisasi.
Kita sepakat
tantangan adalah sumber belajar yang mahal. Sehingga, keunikan ini perlu
menjadi puzzle: tiap kepingnya saling melengkapi. Maka, manajemen waktu
dan peran menjadi krusial. Di sini akan diuji seberapa mampu setiap pengurus
mengomunikasikan kesediaan waktu dalam berperan, dan seberapa mampu pemimpin menyusun puzzle
kepengurusannya menjadi utuh dan harmonis. Di sinilah akan diketahui pentingnya budaya konfirmasi, budaya delegasi,
budaya tepat waktu dalam memulai dan mengakhiri rapat, budaya notulensi yang
informatif dan selalu dibaca, dan lain sebagainya. Dan, penulis yakin bahwa
nama-nama di SK itu menandakan tersedianya waktu dan peran. Jadi, tidak perlu
dibahas bagaimana dengan pengurus yang tidak ada waktu untuk berperan di IPNU.
IPNU ini organisasi
pengkaderan yang sudah barang tentu ada visi misinya. Dan lumrahnya organisasi,
ia selalu akan diuji oleh ruang dan waktu bagaimana ia digerakkan ke arah yang
sesuai dengan mandat awal. Di sini menjadi penting apa yang bisa kita sebut dengan
kejernihan arah. Hal tersebut bisa didapat dengan antusias 'membaca' mandat dan
mendialogkan berulang kali. Kemudian yang diperlukan lagi adalah kedisiplinan
arah. Disiplin ini erat kaitannya dengan penertiban. Tiap pengurus harus tertib
dalam membawa wajah IPNU. Lanjutannya,
jika ada citra diri yang disalahi harus ada mekanisme penertiban
organisasi kepada pengurus.
Pendisiplinan tidak selalu tentang hukuman dan sanksi, budaya nasihat-menasihati juga masuk dalam proses penertiban tersebut. Monitoring dan evaluasi rutin menjadi wadah yang efektif dalam mengawal proses ini. Dan pada intinya, setiap pengurus akan ditanya bentuk pertanggungjawabannya, dan secara kolektif, pertanggungjawaban akan diuji mulai dari rapat anggota sampai dengan kongres. Disiplin organisasi ini harus dan tidak perlu ditakuti juga. Proses inilah yang akan mematangkan karakter pengurus menjadi organisatoris dan menunjukkan kesehatan organisasi yang tertib menuntaskan mandat yang diemban.
Akhir kata, bahasa keteladanan selalu lebih mudah dipahami dan tepat sasaran. Selain itu, dampak yang diciptakannya akan melampaui batasan ruang dan waktu. Sebagai organisasi pengkaderan, orientasi IPNU adalah kualitas. Sehingga, jika ada pertanyaan apakah jumlah anggota atau kader yang berjumlah banyak adalah kesuksesan? Jawabnya, iya, jika pengurusnya terus mengupayakan menjadi teladan nilai IPNU. Jika sebaliknya, maka bisa menjadi ketersesatan massal. Agak seram, tetapi ini sudah seharusnya dipikirkan.
Editor: Hikmah Imroatul Afifah
Tulis Komentar